Manado – Cuaca buruk yang terus melanda perairan Sulawesi Utara, khususnya di wilayah Teluk Manado, mengakibatkan para nelayan di pesisir Kota Manado terpaksa menghentikan seluruh aktivitas melaut. Kondisi ini berimbas langsung terhadap keberlangsungan ekonomi keluarga nelayan, terutama kelompok-kelompok nelayan kecil yang selama ini sangat bergantung pada hasil tangkapan harian.

Sudah lebih dari sepekan, perairan Teluk Manado diwarnai gelombang tinggi dan angin kencang. Situasi ini dinilai membahayakan keselamatan para nelayan, sehingga mereka memilih tidak melaut dan menambatkan perahu-perahu mereka di dermaga dan pesisir pantai.

Di kawasan Kelurahan Bahu, Kecamatan Malalayang, puluhan perahu nelayan terlihat terparkir rapi, sebagian besar ditambatkan menggunakan tali baja agar tidak terbawa arus kuat yang sering datang tiba-tiba. Air laut yang biasanya tenang pada pagi hari, kini terlihat bergelombang bahkan sejak dini hari. Nelayan di kawasan ini, yang umumnya menggantungkan hidup dari hasil laut seperti ikan pelagis kecil, kini menghadapi situasi yang membuat penghasilan mereka terhenti.

Ketua Kelompok Nelayan Goropa, Dance Paima, menyampaikan bahwa hampir seluruh anggotanya tidak melaut sejak gelombang tinggi mulai terjadi. “Kami biasa melaut malam atau subuh. Tapi dalam kondisi sekarang, sangat berisiko. Gelombang besar dan angin bisa datang tiba-tiba. Sudah banyak kejadian nelayan yang nyaris celaka. Jadi kami putuskan untuk berhenti sementara,” ujar Dance Paima saat ditemui di pesisir Kelurahan Bahu.

Lebih lanjut, Dance menjelaskan bahwa tidak beroperasinya aktivitas melaut ini berdampak besar terhadap kondisi ekonomi keluarga para nelayan. “Banyak dari kami yang mengandalkan hasil tangkapan harian. Kalau tidak ada ikan yang dibawa pulang, tidak ada uang yang bisa kami gunakan untuk beli beras, bayar listrik, atau keperluan anak sekolah,” ungkapnya.

Cuaca Ekstrem dan Anomali Musiman

Fenomena cuaca buruk yang terjadi di perairan Manado merupakan bagian dari anomali musim yang sering kali terjadi pada pertengahan tahun. Menurut Stasiun Meteorologi Maritim Bitung, kondisi ini dipicu oleh peralihan musim yang tidak menentu serta adanya gangguan tekanan udara di wilayah Pasifik barat.

Kepala Seksi Observasi dan Informasi BMKG Maritim Bitung, David Mandey, menyebutkan bahwa gelombang tinggi dengan ketinggian mencapai 2,5 meter masih terpantau di beberapa titik perairan Sulawesi Utara. “Kami sudah mengeluarkan peringatan dini kepada nelayan dan operator kapal kecil untuk tidak melaut sementara waktu. Risiko keselamatan terlalu tinggi,” jelas David Mandey.

Ia juga menambahkan bahwa pola angin dari timur yang membawa tekanan rendah turut memperparah kondisi gelombang. Angin yang bertiup konstan dalam beberapa hari terakhir menyebabkan arus laut menjadi tidak stabil, bahkan di perairan yang biasanya cukup aman untuk dilayari oleh perahu nelayan kecil.

Dampak Sosial dan Ekonomi Masyarakat Pesisir

Tidak beroperasinya aktivitas melaut ini tidak hanya berdampak pada pendapatan nelayan, tetapi juga mempengaruhi mata rantai ekonomi lainnya di wilayah pesisir. Pedagang ikan di pasar tradisional mengeluhkan pasokan yang menurun drastis, sementara harga ikan mulai mengalami lonjakan.

Di Pasar Bersehati Manado, para pedagang menyebut harga ikan cakalang segar yang biasanya dijual Rp35.000 per kilogram kini menembus angka Rp50.000 bahkan Rp55.000 per kilogram. “Kami hanya menjual dari stok yang datang dari luar daerah seperti Bitung atau Minahasa Utara. Dari nelayan lokal sudah hampir tidak ada yang masuk,” tutur Nona, seorang pedagang ikan.

Sementara itu, para nelayan yang tidak melaut mencari berbagai cara untuk mengisi waktu luang dan menjaga kestabilan penghasilan. Ada yang memilih mencari pekerjaan sampingan seperti buruh bangunan, tukang parkir, atau mengojek. Sebagian lainnya memanfaatkan waktu di darat untuk memperbaiki alat tangkap seperti jaring, mesin tempel, dan memperbaiki perahu yang mulai usang.

“Kalau tidak bisa melaut, kami periksa perahu, perbaiki jaring, bersihkan lambung perahu dari lumut. Ini juga penting supaya saat cuaca kembali normal, kami bisa langsung turun,” kata Andri, nelayan lainnya di kawasan Malalayang.

Kebutuhan Bantuan Pemerintah

Dalam kondisi seperti ini, para nelayan berharap adanya intervensi dari pemerintah daerah. Bantuan langsung tunai, subsidi bahan pokok, maupun bantuan alat tangkap menjadi harapan utama yang diungkapkan oleh para nelayan.

Dance Paima menyebutkan bahwa sejak pandemi COVID-19, belum ada lagi bantuan signifikan yang mereka terima. Padahal situasi yang mereka hadapi saat ini tidak kalah beratnya dengan masa pembatasan aktivitas beberapa tahun lalu.

“Waktu COVID, kami masih dibantu dari Dinas Perikanan. Sekarang, saat laut tak bisa dilayari karena cuaca, kami belum dengar ada program bantuan. Harapan kami, paling tidak ada bantuan sementara untuk keluarga nelayan kecil. Bukan nelayan besar, tapi yang seperti kami ini, yang setiap hari bergantung dari laut,” ujarnya.

Di sisi lain, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Manado menyatakan tengah melakukan pendataan terhadap kelompok nelayan terdampak. Kepala DKP Manado, Elvry Senduk, mengatakan bahwa pihaknya akan segera menyampaikan laporan ke pemerintah kota untuk mengambil langkah yang dibutuhkan.

“Kami sudah turun ke beberapa titik seperti Bahu, Karombasan, Tuminting, dan Tongkaina. Tim kami sedang mengumpulkan data jumlah nelayan yang berhenti melaut. Setelah itu baru kami sampaikan rekomendasi ke Wali Kota agar bisa dipertimbangkan untuk bantuan tanggap darurat,” ungkap Elvry.

Ia juga mengimbau kepada nelayan agar terus mengikuti informasi cuaca dari BMKG dan tidak memaksakan diri untuk melaut jika kondisi belum memungkinkan.

Kesiapsiagaan dan Adaptasi Jangka Panjang

Para pengamat kelautan dan perikanan menilai bahwa kejadian seperti ini seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kapasitas adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Dr. Franky Laoh, mengatakan bahwa anomali cuaca akan semakin sering terjadi, dan nelayan perlu dibekali keterampilan tambahan di luar kegiatan melaut.

“Pemerintah perlu menggagas program pelatihan kerja alternatif untuk nelayan. Misalnya keterampilan bengkel, budidaya ikan di tambak, atau pengolahan hasil laut. Ketika tidak bisa melaut, mereka tetap punya penghasilan lain yang relevan,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya modernisasi alat tangkap dan teknologi navigasi agar nelayan lebih siap menghadapi dinamika laut yang makin tidak bisa diprediksi. “Kapal yang lebih kuat, alat deteksi cuaca, dan pelatihan keselamatan harus mulai jadi standar. Tidak bisa lagi andalkan pengalaman semata,” ujarnya.

Cuaca buruk yang melanda perairan Sulawesi Utara bukan sekadar gangguan musiman, tetapi ujian berat bagi para nelayan yang menggantungkan hidup dari laut. Di tengah ancaman gelombang tinggi dan angin kencang, mereka memilih untuk tidak melaut demi keselamatan, meskipun konsekuensinya sangat memukul ekonomi keluarga.

Dari pesisir Bahu hingga Tuminting, tampak wajah-wajah lelah dan cemas para nelayan yang terus menanti kabar baik dari langit. Sembari berharap cuaca kembali bersahabat, mereka mengisi waktu dengan memperbaiki alat tangkap, mencari pekerjaan sementara, dan berdoa agar esok ada cahaya di ujung badai.

Lebih dari sekadar kisah tentang laut yang mengamuk, ini adalah potret ketangguhan masyarakat pesisir yang sabar menghadapi terpaan nasib. Ketika laut menolak memberi, mereka tidak menyerah. Mereka bersiap, bertahan, dan percaya bahwa badai pasti berlalu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *