Manado – Selasa pagi yang cerah di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Utara menandai momentum penting dalam perencanaan masa depan daerah. Di ruang sidang paripurna DPRD Sulawesi Utara, Gubernur Yulius Selvanus hadir langsung dalam rapat paripurna penyampaian Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara tahun 2025–2044. Sidang ini menjadi tonggak awal pengesahan dokumen tata ruang yang akan memandu arah pembangunan Sulawesi Utara selama dua dekade ke depan.

Ketua DPRD Sulawesi Utara, Fransiskus Andi Silangen, membuka rapat paripurna dengan menyampaikan pentingnya RTRW sebagai landasan hukum dalam mengatur pemanfaatan ruang secara berkeadilan, efisien, dan lestari. Ia menyebut bahwa tahapan ini merupakan bagian dari proses legislasi daerah yang melibatkan peran serta eksekutif dan legislatif secara sinergis.

Dalam sambutannya, Gubernur Yulius Selvanus menyampaikan bahwa Ranperda RTRW tidak hanya merupakan dokumen administratif, tetapi juga manifestasi dari visi pembangunan jangka panjang yang berpihak pada kepentingan rakyat, lingkungan hidup, dan kesinambungan antar-generasi. Menurutnya, RTRW adalah alat penting untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan pelibatan masyarakat adat serta nilai-nilai lokal yang hidup di tengah masyarakat Sulut.

“Dokumen RTRW ini kami susun dengan pendekatan partisipatif dan berbasis data spasial yang terukur. Semangatnya adalah mewujudkan pembangunan yang tidak hanya cepat, tetapi juga tepat dan berkelanjutan,” tegas Gubernur Yulius dalam pidato resminya.

Ia menyebutkan bahwa terdapat sembilan kebijakan strategis yang tertuang dalam Ranperda RTRW, antara lain:

  1. Penguatan layanan transportasi, khususnya di wilayah kepulauan;
  2. Pengembangan infrastruktur wilayah yang terintegrasi dan ramah lingkungan;
  3. Pemanfaatan kawasan lindung secara optimal dan terkontrol;
  4. Penguatan sektor pariwisata berbasis kesejahteraan lokal;
  5. Pengembangan kelautan dan perikanan berdaya saing global;
  6. Optimalisasi lahan pertanian sebagai pilar ketahanan pangan;
  7. Budidaya yang ramah lingkungan dan berhasil guna;
  8. Pemantapan kawasan perbatasan negara sebagai beranda terdepan Indonesia;
  9. Penguatan sistem penataan ruang dengan tata kelola berbasis digital dan transparan.

Fraksi-Fraksi DPRD Sampaikan Pandangan Umum

Setelah penyampaian gubernur, seluruh fraksi di DPRD Sulut diberi kesempatan menyampaikan pandangan umum terhadap Ranperda tersebut. Fraksi PDIP, melalui juru bicara Lucky Kamesi, menekankan pentingnya pemerataan pembangunan antara daratan dan kepulauan, terutama di wilayah Nusa Utara yang selama ini dianggap tertinggal dari segi infrastruktur dasar.

“Kita tidak bisa lagi bicara pembangunan Sulut kalau tidak memberi perhatian serius pada Talaud, Sangihe, dan Sitaro. Aksesibilitas, transportasi laut, dan konektivitas digital harus menjadi prioritas,” ujar Kamesi.

Sementara itu, Fraksi Partai Golkar melalui juru bicaranya, Sandra Rantung, menggarisbawahi perlunya pengawasan ketat terhadap pemanfaatan kawasan lindung agar tidak terjadi alih fungsi lahan secara ilegal. Ia menyarankan adanya peran lebih kuat dari pemerintah kabupaten/kota dalam mengimplementasikan RTRW di tingkat lokal.

Fraksi Demokrat dan Fraksi NasDem memberikan apresiasi atas keberanian Pemerintah Provinsi Sulut mencantumkan kebijakan tata ruang yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan nilai budaya lokal. Namun, kedua fraksi juga meminta agar dokumen RTRW benar-benar dijabarkan ke dalam program-program konkret yang bisa dirasakan oleh masyarakat dalam waktu dekat.

Landasan Hukum dan Aspek Teknis RTRW

Ranperda RTRW Provinsi Sulawesi Utara tahun 2025–2044 disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta mengikuti pedoman teknis dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021. Proses penyusunannya melibatkan berbagai unsur, termasuk pemerintah kabupaten/kota, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta tokoh adat.

Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sulut, Johanis Mandey, proses penyusunan dokumen ini telah melalui tahapan panjang, termasuk konsultasi publik, verifikasi data spasial, serta koordinasi dengan Kementerian ATR/BPN.

“Kami menggunakan teknologi GIS (Geographic Information System) untuk memetakan seluruh zona pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan lindung maupun kawasan budidaya. Dokumen ini sangat detail dan adaptif terhadap dinamika global, termasuk perubahan iklim dan potensi bencana alam,” kata Mandey.

Ia menambahkan bahwa pemanfaatan kawasan lindung telah dirancang seimbang dengan kebutuhan pertumbuhan ekonomi. Misalnya, wilayah Tondano, Tomohon, dan Minahasa Selatan akan dikembangkan sebagai zona wisata berbasis konservasi, sementara wilayah Bitung dan Manado akan diprioritaskan sebagai simpul pertumbuhan ekonomi maritim.

Kearifan Lokal sebagai Pilar Perencanaan

Salah satu aspek yang menjadi sorotan dalam penyusunan RTRW ini adalah integrasi nilai-nilai kearifan lokal ke dalam struktur perencanaan ruang. Ketua Lembaga Adat Minahasa, Penatua Jerry Lumowa, menyatakan bahwa pihaknya dilibatkan dalam proses konsultasi awal, dan menyambut baik keberpihakan dokumen RTRW terhadap pelestarian situs-situs budaya dan kawasan sakral.

“Ini baru pertama kali pemerintah provinsi secara serius mengajak lembaga adat untuk duduk bersama dalam penyusunan dokumen perencanaan wilayah. Kami mengapresiasi dan berharap ini terus berlanjut di masa depan,” ujar Lumowa.

Dalam dokumen RTRW disebutkan secara eksplisit mengenai kawasan perlindungan budaya seperti Waruga di Minahasa Utara, Benteng Santiago di Sangihe, dan sejumlah situs adat di Bolaang Mongondow. Pemerintah juga berkomitmen tidak akan memberikan izin pembangunan apapun di atas kawasan tersebut.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Dari aspek sosial dan ekonomi, kebijakan tata ruang ini diharapkan mampu menciptakan lebih dari 200 ribu lapangan kerja baru dalam kurun waktu 10 tahun pertama implementasi. Kepala Bappeda Provinsi Sulut, Grace Pangemanan, menyebutkan bahwa sektor-sektor strategis seperti perikanan, pariwisata, dan pertanian akan menjadi motor utama penyerapan tenaga kerja.

“Melalui kebijakan RTRW yang inklusif dan berbasis potensi lokal, kita menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional. Ini artinya, tidak hanya pembangunan yang bergerak, tapi juga kesejahteraan masyarakat yang meningkat,” jelas Pangemanan.

Ia juga menyebutkan bahwa dokumen RTRW akan dijadikan referensi utama dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025–2045, sehingga seluruh kebijakan sektoral akan selaras dalam satu kerangka ruang yang terintegrasi.

Komitmen Terhadap Penataan Kawasan Perbatasan

Isu kawasan perbatasan negara mendapat perhatian khusus dalam Ranperda RTRW. Wilayah seperti Kepulauan Marore dan Miangas akan diperkuat dari sisi pertahanan sipil, logistik, dan konektivitas dengan wilayah utama. Wakil Gubernur Sulut, Stella Maringka, yang turut hadir dalam rapat, menyampaikan bahwa pembangunan kawasan perbatasan bukan semata untuk keamanan, tetapi juga untuk pemerataan kesejahteraan.

“Negara harus hadir di garis depan, bukan hanya dengan pos militer, tetapi juga dengan sekolah, rumah sakit, dan pasar rakyat. RTRW ini menjadi peta jalan untuk memastikan keadilan bagi warga negara di batas utara Indonesia,” tutur Stella.

Ia juga menekankan bahwa pemerintah akan membangun pelabuhan terpadu di Talaud dan jalur penerbangan perintis yang terhubung ke Manado dan Gorontalo.

Sinergi dan Pengawasan Masyarakat

Rapat paripurna ditutup dengan penegasan dari pimpinan DPRD bahwa proses selanjutnya adalah pembahasan lebih lanjut di tingkat komisi dan pansus. Publik diundang untuk terus mengikuti proses ini, karena dokumen RTRW akan berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat Sulawesi Utara.

Organisasi masyarakat sipil seperti Walhi Sulut dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan kesiapan untuk mengawal proses legislasi ini. Koordinator AMAN Sulut, Meiske Mewengkang, mengingatkan agar pemerintah tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur besar, tetapi juga memperhatikan hak-hak masyarakat adat atas ruang hidup mereka.

“Kami akan terus terlibat dalam diskusi dan pengawasan agar RTRW tidak menjadi alat penggusuran, tetapi menjadi payung perlindungan dan pemberdayaan,” ujar Meiske.

Dengan berakhirnya rapat paripurna ini, Sulawesi Utara telah mengambil langkah besar dalam merancang masa depan ruang hidupnya. Rancangan Perda RTRW 2025–2044 menjadi harapan bersama untuk mewujudkan provinsi yang tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga adil, lestari, dan bermartabat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *