Manado – Musim panen cabai keriting tahun ini membawa senyum lebar bagi para petani di Kota Manado, Sulawesi Utara. Harga jual yang melambung hingga Rp60.000 per kilogram menjadi angin segar setelah sebelumnya sempat anjlok di angka Rp20.000. Di antara sekian banyak petani yang merasakan berkah ini, nama Agustio Salindeho dari Kelurahan Meras, Kecamatan Bunaken, mencuat sebagai simbol ketekunan dan harapan.

Harga Tinggi di Pasar Tradisional Angkat Semangat Petani

Sejak awal Mei, lonjakan harga cabai keriting terasa kuat di hampir seluruh pasar tradisional Kota Manado. Di Pasar Bersehati, Pasar Pinasungkulan, hingga Pasar Tuminting, harga eceran cabai keriting terus bertahan di angka Rp70.000 hingga Rp80.000 per kilogram. Hal ini turut berdampak pada harga di tingkat petani yang kini menyentuh angka Rp60.000 per kilogram.

Kondisi ini menjadi momen langka dan menggembirakan bagi petani cabai keriting seperti Agustio Salindeho. Dengan lahan seluas kurang lebih setengah hektare, ia berhasil memanen cabai keriting pada tahap pertama dan langsung mendapat permintaan dari pembeli tetapnya yang tak segan membayar dengan harga tinggi.

“Saya sangat bersyukur karena harga sekarang sangat baik. Biasanya kami menjual Rp20.000 sampai Rp25.000 per kilo. Tapi sekarang sudah Rp60.000. Ini sangat membantu kami,” ujar Agustio ketika ditemui di lahannya di Kelurahan Meras, Sabtu pagi.

Bersama beberapa pekerja lepas yang ia pekerjakan selama masa panen, Agustio memetik cabai merah keriting dengan hati-hati. Setiap kilogram yang dikumpulkan menjadi sumber penghidupan utama bagi keluarganya dan warga sekitar yang ikut bergantung pada usaha tani tersebut.

Latar Belakang Harga Tinggi: Permintaan Meningkat, Pasokan Terbatas

Kenaikan harga cabai keriting bukanlah kejadian tanpa sebab. Dalam beberapa bulan terakhir, iklim yang tak menentu membuat sebagian besar sentra produksi cabai di Sulawesi Tengah dan Gorontalo mengalami penurunan hasil panen. Curah hujan yang tinggi mengakibatkan serangan penyakit dan pembusukan dini pada tanaman cabai. Hal ini menyebabkan pasokan cabai dari daerah tersebut menurun drastis.

Sementara itu, permintaan cabai tetap stabil bahkan cenderung meningkat, terutama menjelang pertengahan tahun yang biasanya diwarnai dengan banyaknya hajatan keluarga, pesta adat, dan perayaan keagamaan. Di tengah kondisi tersebut, para pedagang dan pengepul kini melirik para petani di Manado, termasuk Agustio, sebagai alternatif utama pasokan cabai berkualitas.

Risiko Bertani Cabai: Cuaca dan Hama Jadi Musuh Utama

Meskipun sedang menikmati harga jual yang tinggi, Agustio tetap menyadari bahwa bertani cabai keriting bukanlah usaha tanpa risiko. Tanaman cabai sangat rentan terhadap serangan hama seperti kutu daun, ulat grayak, dan penyakit layu fusarium. Selain itu, perubahan cuaca ekstrem dapat memicu pembusukan buah atau kegagalan bunga menjadi buah.

“Kalau cuaca tidak menentu seperti tahun lalu, kami bisa rugi besar. Pernah kami tanam 3.000 batang, tapi yang berhasil panen hanya 500 batang karena layu semua,” jelas Agustio sambil menunjukkan bekas lahan yang pernah gagal panen tahun lalu.

Ia mengaku sudah mencoba berbagai cara untuk mengurangi risiko, mulai dari pemupukan organik, penggunaan mulsa plastik hitam perak, hingga menyemprot pestisida alami seperti larutan daun pepaya dan bawang putih. Namun semua itu hanya membantu sebagian; selebihnya tetap bergantung pada cuaca dan keberuntungan.

Distribusi Hasil Panen: Pasar Lokal hingga Lintas Provinsi

Hasil panen cabai keriting dari lahan milik Agustio sebagian besar didistribusikan ke pasar tradisional di Manado. Selain melalui pengepul lokal, Agustio juga menjual langsung kepada pelanggan rumah tangga dan warung makan di sekitar tempat tinggalnya. Penjualan langsung ini memberikan margin keuntungan yang lebih besar karena tak dipotong oleh tengkulak.

Selain itu, jika hasil panennya melimpah, Agustio juga melayani permintaan dari luar daerah. Provinsi Maluku Utara, khususnya Ternate dan Tidore, menjadi pelanggan tetap saat pasokan dan harga cocok. Biaya logistik memang menjadi pertimbangan, namun tingginya harga jual di daerah tersebut membuat usaha pengiriman tetap menguntungkan.

“Kalau ada permintaan dari Maluku Utara dan stok cukup, biasanya saya kirim lewat kapal cepat. Dulu pernah kirim sampai 80 kilogram dan langsung habis dalam sehari,” kata Agustio sambil memperlihatkan daftar pesanan yang ia catat di buku kecilnya.

Dukungan Pemerintah dan Tantangan Ke Depan

Petani seperti Agustio berharap ada perhatian lebih dari pemerintah daerah, terutama dalam bentuk pelatihan pertanian berkelanjutan, penyediaan benih unggul, dan subsidi pupuk organik. Sejauh ini, program bantuan dari Dinas Pertanian Manado memang sudah berjalan, namun dinilai masih belum merata dan terkadang lambat dalam distribusinya.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Manado, Ir. Daniel Poluan, mengakui adanya kendala dalam penyaluran bantuan, namun pihaknya terus berupaya memperbaiki sistem.

“Kami sadar bahwa petani cabai adalah ujung tombak stabilitas harga pangan. Saat ini kami sedang evaluasi program pemberian pupuk subsidi dan akan memperluas jangkauan pelatihan pertanian ramah lingkungan,” jelas Daniel ketika dihubungi melalui telepon.

Ia juga menyampaikan bahwa Pemerintah Kota Manado telah menjalin kerja sama dengan sejumlah koperasi petani untuk memfasilitasi akses permodalan mikro dan asuransi pertanian, agar petani tidak perlu takut lagi gagal panen tanpa jaminan.

Cabai Keriting: Komoditas Strategis Bernilai Ekonomis Tinggi

Cabai keriting tidak hanya penting dari sisi ekonomi, namun juga memiliki peran besar dalam budaya konsumsi masyarakat Sulawesi Utara. Dikenal sebagai daerah dengan konsumsi sambal yang tinggi, cabai menjadi bahan pokok yang selalu diburu. Fluktuasi harga cabai bahkan kerap memicu lonjakan inflasi di daerah.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, komoditas cabai keriting termasuk dalam lima besar penyumbang inflasi di Kota Manado selama triwulan pertama 2025. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran para petani dalam menjaga ketersediaan pasokan cabai.

Pengamat pertanian dari Universitas Sam Ratulangi, Dr. Yansen Rorimpandey, menyebutkan bahwa harga cabai yang tinggi saat ini harus diantisipasi pemerintah agar tidak berdampak pada daya beli masyarakat.

“Pemerintah harus mendorong peningkatan produksi dengan mempermudah akses sarana produksi dan pembinaan. Jangan sampai harga yang terlalu tinggi justru memukul konsumen menengah bawah,” ujar Yansen saat diwawancarai usai seminar pangan lokal.

Masa Depan Agustio dan Petani Cabai di Manado

Agustio mengaku tidak memiliki rencana untuk memperluas lahannya dalam waktu dekat. Ia lebih memilih memperbaiki kualitas hasil panen dengan pendekatan yang lebih organik dan berkelanjutan. Menurutnya, menjaga kesuburan tanah dan mengurangi penggunaan pestisida kimia lebih penting untuk jangka panjang.

“Saya lebih senang hasil sedikit tapi sehat. Pelanggan juga lebih suka kalau tahu cabainya tidak disemprot bahan kimia,” katanya sambil menunjukkan contoh cabai hasil panen yang berwarna merah cerah dan berkulit mulus.

Selain bertani, Agustio juga aktif mengedukasi petani muda di sekitar Meras. Ia sering diundang dalam kelompok tani setempat untuk berbagi pengalaman tentang cara bertani cabai yang efisien. Menurutnya, generasi muda perlu diberi motivasi agar tidak meninggalkan sektor pertanian yang menjanjikan ini.

“Bertani sekarang sudah bisa pakai teknologi. Ada yang bisa bantu pemupukan otomatis, irigasi tetes, dan kami juga sudah mulai belajar pemasaran lewat media sosial. Ini kesempatan besar bagi anak muda,” tutupnya dengan nada optimistis.

Harga cabai keriting yang menggembirakan telah menjadi momentum positif bagi petani seperti Agustio Salindeho. Di tengah tantangan cuaca dan minimnya bantuan, semangat para petani untuk terus berproduksi tetap menyala. Ketekunan dan kecintaan terhadap tanah menjadi kunci bertahannya mereka dalam menghadapi gejolak pasar dan risiko produksi.

Dengan perhatian lebih dari pemerintah serta kolaborasi aktif dari masyarakat dan lembaga pendidikan, petani lokal Manado dapat terus menjadi tulang punggung ketahanan pangan sekaligus pilar ekonomi kerakyatan yang kokoh. Di lahan-lahan sederhana seperti milik Agustio, harapan tumbuh bersama cabai keriting yang merah menyala, menandai semangat tak pernah padam untuk hidup yang lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *