Kotamobagu, Sulawesi Utara — Empat hari setelah gema takbir Idul Fitri meredup, warga Kelurahan Motoboi Besar, Kecamatan Kotamobagu Selatan, Sulawesi Utara, justru kembali dipenuhi semangat kebersamaan dalam balutan tradisi yang hangat dan sarat makna: Tradisi Binarundak, atau yang lebih dikenal sebagai lemang.

Binarundak bukan sekadar sajian khas. Ia adalah warisan budaya turun-temurun yang terus dijaga oleh masyarakat Motoboi Besar sebagai simbol sambutan hangat kepada pemudik dari perantauan, sekaligus menjadi ajang silaturahmi antarwarga dan pemerintah setempat. Tradisi ini rutin digelar setiap tahun pada hari keempat Idul Fitri, menandai momen penting usai perayaan Lebaran.

Gotong Royong dalam Aroma Lemang

Dari pagi hari, kesibukan warga terlihat begitu nyata. Mereka berkumpul secara berkelompok di halaman salah satu rumah warga. Lelaki dan perempuan, tua dan muda, kompak mempersiapkan seluruh bahan utama untuk membuat binarundak.

Beras ketan putih, santan kelapa kental, jahe, dan daun pandan menjadi komposisi utama yang dicampur secara merata. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam batang bambu sepanjang satu meter yang terlebih dahulu telah dilapisi daun pisang. Selanjutnya, bambu-bambu tersebut dipanggang secara perlahan di atas bara api, dengan pengawasan ketat agar matangnya merata dan cita rasanya tetap terjaga.

Proses memanggang ini memakan waktu berjam-jam, namun justru di sinilah letak keistimewaannya. Sambil menunggu, warga saling bertukar cerita, berbagi tawa, dan mempererat hubungan yang selama ini mungkin renggang karena kesibukan harian.

Lebih dari Sekadar Makanan

Menurut Mutiara Manopo, salah satu warga Motoboi Besar, tradisi ini memiliki nilai yang jauh lebih dalam daripada sekadar menyantap makanan khas.

“Selain untuk menjemput pemudik dari perantauan, tradisi binarundak menjadi wisata kuliner dan ajang silaturahmi bagi warga bersama pemerintah setempat,” ujarnya saat ditemui di tengah prosesi pembuatan lemang.

Setelah matang, binarundak disajikan bersama lauk khas daerah seperti ikan bakar, dabu-dabu, dan ayam rica-rica. Seluruh warga lalu duduk bersama menikmati hasil gotong royong mereka, menciptakan suasana akrab yang penuh rasa syukur.

Dapat Dukungan Pemerintah

Tradisi Binarundak mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Kota Kotamobagu. Wali Kota Kotamobagu, Wenny Gaib, yang turut hadir dalam kegiatan ini, menyampaikan apresiasinya atas semangat warga dalam melestarikan budaya lokal.

“Tradisi Binarundak rutin digelar setiap tahun usai Lebaran dan telah menjadi budaya kearifan lokal yang terus dijaga dan dilestarikan oleh warga di Desa Motoboi Besar,” kata Wenny Gaib.

Ia menambahkan, tradisi ini tidak hanya memperkuat identitas budaya daerah, tetapi juga berpotensi menjadi agenda wisata kuliner tahunan yang bisa menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara.

Menjaga Warisan Leluhur

Tak banyak tradisi yang bisa bertahan di tengah arus modernisasi seperti Binarundak ini. Namun, warga Motoboi Besar membuktikan bahwa dengan semangat kebersamaan dan cinta terhadap budaya, warisan leluhur bisa terus hidup dan bahkan menjadi jembatan bagi generasi muda untuk mengenal akar identitasnya.

Dengan api yang terus menyala di bawah batang-batang bambu, tradisi Binarundak bukan hanya menghangatkan makanan, tetapi juga menghangatkan hati, menyatukan yang jauh, dan menegaskan makna sejati dari sebuah perayaan: kebersamaan dan rasa syukur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *