Pada zaman dahulu, leluhur orang Minahasa selalu terlibat peperangan melawan musuh atau pengacau-pengacau baik dari lingkungan sendiri atau perang antarsuku, maupun dari luar yaitu perang melawan suku Mangindano.

Untuk menghalau pengacau-pengacau tersebut, para leluhur berusaha untuk memperkuat pertahanan dengan mengumpulkan orang-orang kuat dan berbadan besar dilatih cara berperang dengan menggunakan senjata pedang dan tombak. Sebelum berangkat berperang para prajurit diuji kesaktiannya melalui suatu upacara adat. Bagi yang belum cukup tangguh akan dimandikan oleh Tonaas untuk menambah kesaktiannya.

Gerakan-gerakan yang dilatih seperti lompatan-lompatan maju menyerang, mundur atau menyamping untuk menghindari dan menangkis serangan musuh disertai jeritan menakutkan dengan mata melotot seperti burung hantu.

Tari tersebut lahir Ketika para pemuda yang gagah berani menang pulang dari peperangan. Mereka melampiaskan rasa kemenangan itu dengan menari meloncat-loncat sambil berteriak kegirangan, membawa hasil rampasan perang berupa senjata, topi, baju, dan sebagaianya.

Mengutip warisanbudaya.kemdikbud.go.id, tarian yang diciptakan usai dari perperangan itu dinamakan Cakalele atau tari perang, artinya berlagak dengan memakai senjata berupa santi (pedang) dan tameng (kelung). Karena sering ditarikan pada hari-hari raya, maka tarian itu disebut kabasaran atau kebesaran sama dengan raya.

Tarian ini ditarikan oleh kaum pria dewasa secara berpasangan dengan jumlah penari paling sedikit tiga pasang. Sesuai perkembangannya anak-anak pun sudah ada yang memainkannya, begitu pula penarinya tidak terbatas pada pria tapi wanita pun sudah ada yang menarikannya. Karena jumlah penarinya banyak, maka tarian diadakan di lapangan terbuka, gedung juga jalan-jalan protokol.

Gerakan-gerakan tarian meliputi melompat maju dan mundur dengan kaki dihentakkan sesuai dengan komando atau aba-aba yang diberikan oleh pemimpin, mengikuti irama alat pengiring. Komando yang diberikan oleh pemimpin diiringi dengan teriakan-teriakan, mendengar teriakan tersebut para penari menjadi lebih bersemangat.

Pada saat-saat tertentu para penari bergantian posisi dengan lawannya masing-masing. Susunan penari terdiri atas:

  • Tumutuzuk atau pemimpin.
  • Potu’usan atau ahli mengobati luka karena senjata tajam.
  • Lele’en atau ahli pengetahuan tentang leluhur.
  • Waranei atau prajurit.

Fungsi sosial yang terkandung dalam tarian Cakalele antara lain kebersamaan, persatuan, keberanian, semangat juang yang tinggi, rela berkorban demi membela tanah air tercinta.(Rdm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *