Tomohon, — Ketegangan merasuki kompleks Kantor Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) di Kota Tomohon, Rabu siang, saat ratusan pendeta dan jemaat GMIM menggelar aksi damai menuntut pertanggungjawaban moral dan organisasi dari Ketua Sinode GMIM, Pdt. Dr. Hein Arina, yang kini berstatus tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah. Aksi ini digelar oleh kelompok yang menamakan diri Gerakan Reformasi GMIM, sebuah aliansi informal dari pendeta, penatua, syamas, dan warga jemaat dari berbagai aras pelayanan di GMIM.
Meski berlangsung damai dan tertib, aksi ini menjadi momen yang menyentakkan kesadaran publik gereja, memperlihatkan bahwa kepercayaan terhadap kepemimpinan sinode sedang mengalami krisis yang serius. Koordinator aksi, Pdt. Joke Mangare, menegaskan bahwa desakan yang disuarakan bukan sekadar tuntutan pribadi atau politis, melainkan panggilan nurani untuk memulihkan integritas gereja di mata publik dan jemaat.
“Kebingungan di aras jemaat makin meluas. Ketika pemimpin rohani terjerat masalah hukum, apalagi yang menyangkut keuangan, maka tanggung jawab moral dan spiritualnya harus diutamakan. Ini bukan soal suka atau tidak suka, ini soal menjaga martabat gereja,” ujar Pdt. Joke Mangare kepada wartawan usai menyampaikan aspirasi di Aula Kantor Sinode GMIM.

Ketidakjelasan Kepemimpinan dan Kekosongan Moral
Aksi damai yang berlangsung selama sekitar dua jam itu diawali dengan doa bersama dan nyanyian pujian, lalu dilanjutkan dengan pembacaan pernyataan sikap dari Gerakan Reformasi GMIM. Dalam dokumen yang mereka serahkan ke BPMS GMIM, terdapat lima poin utama yang menjadi garis besar tuntutan:
- Mendesak BPMS GMIM segera menggelar Sidang Majelis Sinode Istimewa (SMSI) untuk memilih Ketua Sinode yang baru.
- Meminta Pdt. Hein Arina diberhentikan secara permanen sebagai pegawai organik GMIM karena dinilai tidak menjaga integritas dan nama baik lembaga gereja.
- Menolak segala bentuk pembiaran terhadap proses hukum yang sedang berlangsung dan mendesak transparansi kepada seluruh jemaat.
- Menyerukan pemulihan kembali semangat reformasi pelayanan yang berbasis pada kebenaran, integritas, dan kesederhanaan.
- Menuntut pembenahan tata kelola keuangan dan sistem pengawasan dalam lingkup GMIM agar tidak terulang kembali kasus serupa.
Salah satu peserta aksi, Penatua Elly Sumual dari Wilayah Manado Tenggara, mengatakan bahwa tuntutan mereka tidak muncul secara tiba-tiba. Ia menyebut bahwa keresahan terhadap gaya kepemimpinan Pdt. Hein Arina sudah muncul jauh sebelum yang bersangkutan tersandung kasus hukum.
“Kami sudah lama khawatir dengan pola-pola otoriter dan kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan di BPMS. Kasus hukum ini hanyalah puncak gunung es,” ujar Elly kepada media.

Pertemuan Tertutup dengan BPMS dan PLT Ketua Sinode
Setelah menyampaikan orasi di halaman kantor sinode, perwakilan pengunjuk rasa diterima secara tertutup oleh jajaran BPMS GMIM dan Pelaksana Tugas (PLT) Ketua Sinode, Pdt. Jany Rende. Pertemuan yang berlangsung di aula utama itu diwarnai dengan penyampaian aspirasi, masukan, dan permintaan klarifikasi atas sejumlah kebijakan sinode pasca penetapan tersangka kepada Hein Arina oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara.
Dalam pertemuan itu, Pdt. Jany Rende menyatakan bahwa pihaknya akan segera membahas aspirasi yang disampaikan dalam rapat internal BPMS. Ia juga menegaskan bahwa GMIM tetap berkomitmen untuk menjalankan pelayanan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kesucian institusi gereja.
“Kami menerima dengan penuh hormat semua masukan yang disampaikan. Aspirasi ini tidak akan kami abaikan. Sebagai PLT, saya akan membawa hal ini dalam forum yang lebih luas untuk dibahas sesuai mekanisme organisasi,” kata Pdt. Jany Rende di hadapan perwakilan aksi.

Jemaat dan Warga Gereja Merasa Terluka
Gelombang kekecewaan terhadap situasi yang menimpa sinode GMIM tidak hanya datang dari pendeta dan tokoh gereja, melainkan juga dari jemaat biasa yang merasa pelayanan rohani mereka kini tercemar oleh krisis kepemimpinan. Salah satu di antaranya adalah Rina Karundeng, ibu rumah tangga dari Wilayah Minahasa V, yang datang bersama tiga anaknya dalam aksi tersebut.
“Saya bukan aktivis, saya ibu rumah tangga yang hanya ingin gereja saya tidak dipimpin oleh orang yang sedang bermasalah hukum. Apa yang anak-anak kami pelajari di Sekolah Minggu akan kehilangan maknanya jika pemimpin rohaninya sendiri sedang diproses karena dugaan korupsi,” ujar Rina.
Banyak peserta aksi membawa poster bertuliskan “Gembala yang Baik Tidak Lari dari Tanggung Jawab” dan “GMIM Milik Kristus, Bukan Milik Pribadi,” yang mencerminkan penolakan terhadap personalisasi gereja dan kepemimpinan otoriter.

Proses Hukum Masih Berjalan
Sementara itu, berdasarkan informasi dari Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, proses penyidikan terhadap Pdt. Hein Arina dalam kasus dugaan korupsi dana hibah dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara ke GMIM masih berlangsung. Penyidik telah memeriksa belasan saksi termasuk beberapa pejabat sinode dan ASN Pemprov.
Dalam konferensi pers pada awal Mei lalu, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulut, Andhika Wahyu Prasetya, menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Hein Arina didasarkan pada alat bukti yang cukup kuat.
“Dugaan tindak pidana korupsi ini berkaitan dengan penggunaan dana hibah sebesar Rp5 miliar yang disalurkan ke GMIM dan tidak dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya. Kami sedang mendalami aliran dana dan keterlibatan pihak lain,” jelas Andhika kepada media.
Namun hingga kini, Pdt. Hein Arina belum ditahan dan belum menyampaikan pernyataan resmi kepada publik maupun jemaat GMIM terkait status hukumnya. Ketidakhadiran secara fisik dan moral inilah yang menjadi sumber kebingungan dan frustrasi di kalangan warga gereja.

Dorongan ke Arah Sidang Istimewa Sinode
Sejumlah tokoh senior GMIM yang tidak tergabung dalam aksi juga menyuarakan keprihatinan terhadap kevakuman posisi Ketua Sinode dan mendorong agar Majelis Sinode segera menggelar Sidang Majelis Sinode Istimewa (SMSI). Salah satu di antaranya adalah Pdt. Yohanis Sumampouw, mantan Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah (BPMSW) GMIM.
“Dalam kondisi seperti ini, SMSI bukan hanya opsi, tetapi keharusan organisasi. Gereja tidak boleh membiarkan kevakuman kepemimpinan terlalu lama karena pelayanan dan arah gereja bisa terganggu,” kata Pdt. Sumampouw dalam wawancara dengan media lokal.

Potret Lebih Luas: Krisis Kepemimpinan di Tubuh Gereja
Krisis di GMIM mencerminkan tantangan lebih luas yang dihadapi gereja-gereja Protestan di Indonesia: persoalan integritas kepemimpinan, transparansi pengelolaan dana, serta relevansi pelayanan gereja di tengah masyarakat yang makin kritis dan melek hukum. Lembaga pelayanan yang seharusnya menjadi suara kebenaran dan keadilan kini justru tersandung perkara-perkara yang merusak kepercayaan publik.
Menurut Dr. Efraim Kalalo, dosen Teologi dan Etika Kristen di salah satu perguruan tinggi di Manado, GMIM sedang berada pada titik krusial dalam sejarahnya.
“Reformasi gereja bukan hanya tentang mengganti pemimpin. Ini tentang memperbaiki sistem, mengembalikan gereja ke jalur integritas pelayanan, dan memastikan bahwa struktur organisasi tidak menjadi tempat berlindung bagi penyimpangan,” jelas Kalalo.

Pembubaran Aksi dengan Tertib, Tapi Tekanan Terus Berlanjut
Usai menyampaikan tuntutan dan menyelesaikan dialog dengan BPMS, massa aksi membubarkan diri dengan tertib. Namun, gelombang desakan dari internal GMIM dipastikan belum akan surut. Berbagai unsur pelayanan, dari kategorial pemuda hingga kelompok wanita/kaum ibu, telah mulai membicarakan kemungkinan menyampaikan aspirasi serupa secara terorganisir dalam waktu dekat.
Situasi ini memberi tekanan kuat kepada BPMS GMIM untuk segera mengambil sikap tegas dan terbuka kepada publik. Keputusan-keputusan penting yang diambil dalam waktu dekat akan sangat menentukan arah GMIM ke depan — apakah gereja ini memilih jalan reformasi, atau terus bertahan dalam ketidakjelasan yang merugikan seluruh tubuh Kristus.

Jemaat Menunggu Kepemimpinan yang Kuat dan Bersih
Tuntutan agar Pdt. Hein Arina mundur dari jabatannya sebagai Ketua Sinode GMIM bukan sekadar persoalan hukum. Ini adalah soal tanggung jawab moral, etika kepemimpinan rohani, dan integritas gereja di mata umat. GMIM, sebagai salah satu sinode terbesar di Indonesia Timur, memegang peran strategis dalam membentuk karakter umat Kristen yang berdaya dan bermoral. Jika krisis ini tidak segera diselesaikan secara jujur dan terbuka, dampaknya bisa jauh lebih luas dari sekadar kekosongan jabatan.
Kini semua mata tertuju pada langkah BPMS berikutnya. Jemaat tidak menuntut kesempurnaan, tetapi menuntut keberanian untuk mengakui kesalahan, mengambil keputusan yang benar, dan mengembalikan GMIM ke jalan terang — tempat di mana pelayanan tidak hanya menjadi rutinitas liturgis, tetapi menjadi perwujudan nyata dari kasih, keadilan, dan kebenaran.
“Kami tidak membenci, kami hanya ingin pemimpin kami bertanggung jawab. Gereja bukan milik seseorang. Gereja adalah milik Tuhan, dan kami hanya ingin menjaga rumah Tuhan ini tetap kudus,” tutup Pdt. Joke Mangare dalam orasi penutupnya.