MANADO — Di sebuah sudut hijau Kelurahan Tongkaina, Kecamatan Bunaken, Kota Manado, sebuah bengkel kecil dengan aroma serbuk kayu dan batok kelapa menggema oleh aktivitas tangan-tangan terampil. Dari tempat sederhana inilah Henry Johanis, seorang perajin eco-craft lokal, menciptakan karya luar biasa: medali tematik bertema satwa endemik Sulawesi Utara, Yaki (Macaca nigra), yang akan didistribusikan untuk ajang internasional Dublin Zoo Run for Wildlife 2025 di Irlandia.

Karya dari Alam untuk Konservasi Global
Henry Johanis tidak sendiri. Bersama dua orang rekannya, ia memproduksi sebanyak 1.600 buah medali tematik dari bahan kayu dan tempurung kelapa yang dikerjakan secara manual. Proses ini bukan hanya sekadar aktivitas produksi, melainkan juga bentuk komitmen pada pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati Sulawesi Utara.
Produk ini menjadi unik bukan hanya karena bahannya yang berasal dari limbah alami, tetapi juga karena desain medali menampilkan gambar Yaki, primata hitam khas Sulawesi yang saat ini berada dalam status terancam punah menurut IUCN Red List.
“Yaki bukan hanya ikon Sulawesi Utara, tapi juga bagian dari ekosistem yang harus dijaga kelangsungannya. Kami ingin orang-orang di luar negeri tahu bahwa masih ada spesies yang hidup di hutan kami, yang perlu perhatian dunia,” ujar Henry Johanis dalam wawancara di bengkel kerajinannya.

Ekspor Pertama untuk Kampanye Global
Pemesanan medali ini dilakukan oleh pihak penyelenggara Dublin Zoo Run for Wildlife 2025, sebuah acara tahunan di Irlandia yang menggabungkan kegiatan olahraga lari dengan kampanye penyelamatan satwa liar dunia. Tahun ini, fokus kampanye mereka adalah konservasi primata, dan Yaki menjadi simbol yang dipilih untuk memperkenalkan spesies yang kurang dikenal oleh masyarakat Eropa.
Menurut Henry, inisiasi kerja sama ini bermula dari perkenalannya dengan seorang relawan konservasi dari Inggris yang pernah bertugas di Sulawesi Utara dan tertarik pada konsep eco-craft ramah lingkungan. Dari sana, rekomendasi demi rekomendasi mengalir, hingga akhirnya muncul pemesanan resmi dari panitia ajang lari di Dublin.
“Ini adalah ekspor pertama saya dalam bentuk kolaborasi konservasi. Kami senang, karena bukan cuma soal produk yang dibayar, tapi ada nilai lebih dari apa yang kami kerjakan. Ini tentang cerita dan pesan yang disampaikan lewat benda kecil seperti medali,” tambahnya.

Teknik Tradisional, Sentuhan Modern
Medali yang diproduksi tidak dibuat secara massal dengan mesin. Proses pembuatannya mengandalkan teknik ukir tradisional serta penghalusan alami tanpa bahan kimia tambahan. Setiap potong medali membutuhkan waktu antara 30–40 menit untuk dirampungkan, dari mulai pemotongan batok kelapa, pembentukan pola, ukiran gambar Yaki, hingga pewarnaan menggunakan bahan nabati.
Desain medali tidak dibuat sembarangan. Henry bekerja sama dengan ilustrator lokal untuk menggambarkan karakteristik Yaki secara proporsional, lengkap dengan hutan tropis sebagai latar belakang. Ukiran tersebut tidak dicetak digital, melainkan dikerjakan manual menggunakan alat ukir tangan.
“Medali ini bukan sekadar simbol partisipasi lomba. Di balik setiap garis ukiran, ada cerita tentang alam Sulawesi yang masih harus kita jaga,” tutur Henry sembari menunjukkan satu medali yang sudah rampung.

Nilai Ekonomi dan Ekologi yang Seimbang
Proyek ekspor medali ini bukan hanya memberikan nilai ekonomi bagi Henry dan timnya, tapi juga mendorong pemberdayaan ekonomi lokal. Semua bahan baku didapatkan dari sekitar wilayah Tongkaina. Tempurung kelapa, misalnya, dikumpulkan dari limbah rumah tangga dan pengrajin minyak kelapa murni.
Kayu yang digunakan pun berasal dari hasil panen legal yang bersertifikat dari Dinas Kehutanan, seperti kayu jati putih dan kayu mahoni muda yang dikenal memiliki kekuatan dan ketahanan cukup baik untuk produk dekoratif. Henry memastikan bahwa seluruh proses produksinya tidak menghasilkan limbah berbahaya.
Menurutnya, jika kegiatan seperti ini didorong dan diperluas, maka ekosistem industri kecil bisa berjalan selaras dengan upaya konservasi lingkungan. Ia juga percaya bahwa konsep “eco-craft untuk konservasi” merupakan masa depan yang menjanjikan bagi banyak pengrajin di Sulawesi Utara.

Yaki sebagai Duta Konservasi
Yaki atau Macaca nigra, merupakan primata endemik Sulawesi Utara yang hanya ditemukan di bagian utara Pulau Sulawesi dan beberapa pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau Bacan. Hewan ini menjadi simbol keunikan hayati Sulawesi, namun populasinya terus menurun akibat perburuan, hilangnya habitat, dan perdagangan ilegal.
Menurut data dari Yayasan Selamatkan Yaki, populasi hewan ini telah berkurang lebih dari 80% dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Padahal Yaki memegang peranan penting dalam ekosistem hutan tropis karena membantu penyebaran biji-bijian dan menjaga keseimbangan rantai makanan.
“Melalui medali ini, kami tidak hanya mengirim barang, tapi juga menyampaikan pesan bahwa Yaki adalah bagian penting dari bumi kita. Jika mereka punah, kita kehilangan bagian penting dari keragaman hayati dunia,” kata Henry.

Respon Positif dan Potensi Pasar Baru
Kabar tentang ekspor medali tematik ini langsung mendapat respons positif dari berbagai kalangan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Manado menyampaikan dukungan terhadap langkah Henry sebagai bentuk promosi produk lokal ke pasar internasional.
“Kami sangat mengapresiasi inisiatif dari pelaku usaha kreatif seperti Henry. Ini contoh nyata bahwa produk lokal bisa menembus pasar global jika memiliki nilai tambah yang kuat,” ujar Kepala Dinas Perindag Kota Manado, Yulius Mamangkey, saat dimintai tanggapan.
Bahkan dari sektor pariwisata, langkah ini dianggap sebagai bagian dari diplomasi budaya yang bisa meningkatkan citra Sulawesi Utara di mata dunia.
“Ketika medali dari Manado dipakai di Irlandia untuk kampanye konservasi, maka secara tidak langsung kita sedang mengenalkan budaya, kerajinan, bahkan kekayaan hayati Sulut kepada masyarakat dunia,” ucap Jonly Kalangi, aktivis wisata dan pelaku UMKM kreatif Manado.

Mendorong Generasi Muda Masuk Dunia Eco-Craft
Kegiatan ini bukan hanya menjadi kabar baik untuk pelestarian satwa, namun juga membuka mata banyak generasi muda di Manado tentang potensi besar dari eco-craft. Henry telah beberapa kali diundang menjadi pembicara di pelatihan kewirausahaan pemuda yang digelar oleh organisasi lokal dan kampus.
Ia juga merancang program magang bagi siswa SMK di bidang seni dan kriya untuk mengenalkan mereka pada teknik pengolahan bahan alami menjadi produk bernilai ekonomi.
“Jika kita bisa membuat sesuatu yang sederhana dari bahan-bahan sekitar kita, tapi memiliki dampak internasional, maka masa depan kerajinan tangan Manado ada di tangan generasi muda,” ucap Henry, penuh semangat.

Langkah Kecil untuk Dampak Besar
Proses produksi medali Yaki ini dijadwalkan rampung dalam tiga minggu ke depan dan akan segera dikirim melalui jalur ekspor udara dari Bandara Sam Ratulangi ke Dublin, Irlandia. Henry berharap, kisah ini tidak berhenti pada satu proyek saja.
Ia berencana memperluas pasar dan mengembangkan produk-produk lain dengan pesan konservasi serupa, seperti gantungan kunci, miniatur satwa, dan suvenir wisata yang mengangkat tema flora dan fauna Sulawesi Utara.
Bagi Henry, kerajinan bukan hanya tentang kreativitas. Ia percaya setiap potong batok kelapa yang dijadikan karya memiliki nilai yang bisa mengubah cara pandang orang tentang lingkungan, budaya, dan tanggung jawab bersama untuk menjaga bumi.
Kerajinan tangan Henry Johanis bukan sekadar medali. Ia adalah lambang dari keberanian bermimpi besar dari tempat kecil. Di balik tempurung kelapa, tersimpan pesan tentang hutan, satwa liar, dan harapan akan dunia yang lebih peduli pada kehidupan di sekitarnya.
Dengan ketekunan, kreativitas, dan visi yang jelas, seorang perajin dari Tongkaina mampu menembus batas negara, menanamkan pesan konservasi ke dalam hati masyarakat global, dan mengangkat nama Sulawesi Utara melalui jalan yang tak biasa: sebuah medali dari batok kelapa yang bercerita tentang Yaki.