Manado – Puluhan mahasiswa asal Papua yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Indonesia Papua (IMIPA) Sulawesi Utara menggelar aksi unjuk rasa damai di depan Kantor Gubernur Sulawesi Utara, Selasa siang. Mereka menyuarakan penolakan terhadap rencana eksploitasi tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya—daerah yang selama ini dikenal sebagai salah satu kawasan konservasi laut dan darat terbaik di dunia.

Dengan mengenakan pakaian adat dan membawa poster-poster bertuliskan “Save Raja Ampat”, “Cabut Izin Tambang Nikel”, serta “Tanah Papua Bukan untuk Dijual”, mahasiswa Papua menyuarakan keresahan dan kemarahan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada lingkungan dan masyarakat adat.

Aksi yang berlangsung selama lebih dari dua jam ini mendapatkan pengamanan dari aparat kepolisian dan satuan polisi pamong praja. Suasana tetap tertib dan damai meski massa terlihat emosional saat menyampaikan aspirasi mereka.

Mahasiswa Papua Suarakan Penolakan Tambang Nikel

Dalam orasinya, Robby Magal, salah satu orator aksi, menyampaikan bahwa kehadiran tambang nikel di kawasan Raja Ampat bukan hanya mengancam ekosistem lingkungan, tetapi juga mengancam eksistensi budaya dan hak hidup masyarakat adat Papua.

“Kami datang ke Manado bukan untuk mencari keributan, tapi untuk menyelamatkan tanah kami dari kerusakan yang permanen. Raja Ampat bukan tanah kosong, bukan wilayah tak bertuan. Di sana ada masyarakat adat, ada hutan, ada laut, ada kehidupan yang selama ini menjadi bagian dari jati diri kami,” ujar Robby lantang.

Ia menambahkan bahwa sejak kecil masyarakat Papua dididik untuk hidup selaras dengan alam. Keputusan pemerintah pusat yang mengeluarkan izin usaha pertambangan di Raja Ampat dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap nilai-nilai lokal dan prinsip keberlanjutan.

“Kami mahasiswa Papua tidak akan tinggal diam. Ini bukan hanya soal nikel, ini soal masa depan kami. Raja Ampat adalah warisan dunia, bukan tempat untuk kepentingan industri tambang,” tambahnya.

Mahasiswa Minta Pemprov Sulut Teruskan Aspirasi ke Pemerintah Pusat

Koordinator lapangan aksi, Bunay Pay, menyampaikan bahwa aksi yang dilakukan di Manado merupakan bagian dari gerakan nasional mahasiswa Papua yang menolak kehadiran tambang nikel di seluruh wilayah Papua. Ia menekankan pentingnya solidaritas lintas wilayah untuk melindungi tanah Papua dari eksploitasi yang eksploitatif dan tidak adil.

“Kami minta Gubernur Sulawesi Utara melalui Kesbangpol untuk segera meneruskan tuntutan kami ke pemerintah pusat. Kami tahu Sulut bukan pihak yang mengeluarkan izin, tapi ini bentuk moralitas politik. Sulut harus berdiri bersama rakyat, bukan hanya diam melihat tanah orang lain dirusak,” ujar Bunay.

Bunay juga menyoroti bagaimana eksploitasi sumber daya alam di Papua kerap kali dilakukan tanpa konsultasi dan persetujuan dari masyarakat adat. Ia menyebut bahwa praktik seperti itu tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tapi juga bertentangan dengan hukum nasional dan internasional yang melindungi hak-hak masyarakat adat.

Pemprov Sulut Terima Aspirasi Mahasiswa Papua

Aksi mahasiswa Papua ini kemudian diterima secara resmi oleh Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sulawesi Utara, Johnny Suak, yang menemui massa aksi di gerbang kantor Gubernur Sulut.

Dalam pernyataannya, Suak menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara membuka ruang dialog dan akan meneruskan seluruh aspirasi yang disampaikan mahasiswa Papua kepada Gubernur Sulut dan kementerian terkait di Jakarta.

“Saya menyampaikan apresiasi atas aksi damai yang dilakukan adik-adik mahasiswa Papua. Pemerintah Provinsi Sulut siap menjadi jembatan untuk menyampaikan suara ini kepada pemerintah pusat. Aspirasi ini adalah bagian dari demokrasi yang harus dihormati,” ujar Johnny Suak.

Ia juga menegaskan bahwa Sulawesi Utara menjunjung tinggi nilai keberagaman dan solidaritas antar daerah. Menurutnya, aksi mahasiswa Papua ini menjadi refleksi dari kepedulian generasi muda terhadap lingkungan dan masa depan Papua.

Kontroversi Izin Tambang di Kawasan Konservasi

Rencana pemberian izin tambang nikel di wilayah Raja Ampat oleh pemerintah pusat menuai polemik luas di berbagai kalangan, termasuk aktivis lingkungan, akademisi, dan masyarakat sipil. Raja Ampat yang dikenal dengan kekayaan biodiversitas lautnya, tercatat sebagai salah satu kawasan dengan keragaman hayati tertinggi di dunia.

Berdasarkan data dari World Wide Fund for Nature (WWF), Raja Ampat memiliki lebih dari 1.500 spesies ikan, 700 jenis moluska, dan 500 spesies karang. Selain itu, kawasan ini juga merupakan rumah bagi sejumlah spesies langka seperti pari manta, dugong, dan penyu belimbing.

Dr. Helena Sumampouw, ahli biologi laut dari Universitas Sam Ratulangi Manado, menegaskan bahwa masuknya industri tambang ke wilayah sensitif seperti Raja Ampat berpotensi menghancurkan ekosistem yang telah terbentuk selama ribuan tahun.

“Raja Ampat bukan hanya aset nasional, tapi aset global. Sekali rusak, tidak bisa dikembalikan. Hutan bakau yang dirusak, terumbu karang yang dihancurkan, akan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk pulih, jika bisa pulih,” ujar Helena.

Suara dari Masyarakat Adat Papua

Selain mahasiswa, tokoh masyarakat adat Papua juga telah menyuarakan penolakan keras terhadap tambang nikel di wilayah mereka. Salah satu tokoh adat Raja Ampat, Yulianus Mambrasar, menyebut bahwa masyarakat tidak pernah dimintai persetujuan atau diberi ruang untuk berdiskusi sebelum izin tambang diberikan.

“Kami merasa tanah kami dijual diam-diam. Tidak ada musyawarah, tidak ada komunikasi. Ini pelanggaran terhadap prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) yang dijamin dalam Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat,” ujar Yulianus dalam wawancara yang dirilis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Ia menambahkan bahwa tanah di Raja Ampat bukan sekadar tempat tinggal, melainkan bagian dari identitas dan spiritualitas masyarakat adat. Eksploitasi tambang, menurutnya, sama saja dengan penghancuran budaya.

Aksi Damai Berakhir Tertib

Setelah seluruh pernyataan disampaikan dan diterima secara resmi oleh pihak pemerintah daerah, mahasiswa Papua membubarkan diri dengan tertib. Mereka meninggalkan lokasi sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan membawa kembali atribut aksi.

Koordinator aksi menegaskan bahwa ini bukan aksi terakhir. Mahasiswa Papua akan terus memantau dan jika perlu, akan kembali turun ke jalan bersama jaringan nasional mahasiswa untuk mendesak pencabutan izin tambang secara menyeluruh. Aksi unjuk rasa mahasiswa Papua di Manado menandai babak penting dalam gerakan penolakan tambang di kawasan konservasi Raja Ampat. Di tengah sorotan internasional terhadap pentingnya menjaga lingkungan dan menghormati hak masyarakat adat, tuntutan yang disuarakan mahasiswa ini membawa pesan kuat: pembangunan yang tidak adil dan merusak lingkungan harus dihentikan.

Pemerintah pusat diharapkan tidak mengabaikan suara-suara yang muncul dari berbagai penjuru negeri, termasuk dari mahasiswa yang jauh dari kampung halamannya namun tetap menyuarakan cinta pada tanah air. Aspirasi yang disampaikan hari ini bukan hanya milik Papua, tapi milik semua anak bangsa yang peduli pada keadilan ekologis dan keberlanjutan.

“Kalau bukan kita yang jaga tanah Papua, siapa lagi? Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi?” pungkas Robby Magal dalam orasi penutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *