Manado, — Persidangan praperadilan yang diajukan Asiano Gammy Kawatu (AGK) terhadap Kepolisian Daerah Sulawesi Utara (Polda Sulut) kembali menarik perhatian publik. Kuasa hukum AGK, Santrawan Paparang, menilai bahwa penetapan dan penahanan kliennya dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dana hibah Sinode GMIM cacat hukum, baik dari sisi formil maupun yuridis. Persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Manado itu menghadirkan empat saksi ahli yang masing-masing memaparkan pendapat hukum mereka secara mendalam.
Sidang berlangsung selama delapan jam tanpa jeda signifikan, dipimpin oleh hakim tunggal Ronald Massang. Persidangan ini merupakan lanjutan dari proses praperadilan yang dimohonkan AGK untuk menggugurkan status tersangka dan penahanannya atas dugaan korupsi yang telah menyeret beberapa tokoh Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM).

Latar Belakang dan Proses Hukum
Asiano Gammy Kawatu, mantan Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Utara, sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Sulut dalam kasus dugaan korupsi dana hibah untuk Sinode GMIM. Ia diduga turut serta dalam proses pencairan dan pengalokasian dana hibah yang dianggap tidak sesuai ketentuan. Kasus ini menjadi perhatian luas mengingat keterlibatan tokoh-tokoh gereja dan pejabat pemerintahan dalam perkara tersebut.
Namun, pihak AGK menilai bahwa seluruh proses hukum terhadap klien mereka, mulai dari tahap laporan informasi, penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan sebagai tersangka dan penahanan, tidak dilakukan sesuai ketentuan hukum acara pidana. Oleh karena itu, upaya hukum praperadilan diajukan sebagai mekanisme untuk menguji sah atau tidaknya prosedur yang telah dijalankan oleh penyidik.

Pandangan Kuasa Hukum
Santrawan Paparang, selaku kuasa hukum AGK, menilai bahwa temuan dan pendapat para ahli telah memperkuat dalil permohonan yang mereka ajukan. Ia menyebut proses penetapan dan penahanan AGK tidak hanya cacat formil tetapi juga cacat yuridis.
“Kami berhasil membuktikan dalam persidangan bahwa dari awal proses hukum ini mengandung banyak cacat. Mulai dari laporan informasi, penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka hingga penahanan, semuanya melanggar prosedur hukum,” kata Paparang kepada wartawan usai sidang.
Santrawan juga menyampaikan bahwa pihaknya tidak akan mendahului keputusan hakim, dan menyerahkan sepenuhnya pada hakim tunggal Ronald Massang untuk memberikan putusan yang adil.
“Kami percaya pada independensi pengadilan. Segala sesuatu sudah kami sampaikan secara lengkap dan terstruktur. Kini giliran Yang Mulia Hakim yang akan menilai dan memberikan putusan,” lanjutnya.

Respons Polda Sulut
Meski pihak termohon, yakni Polda Sulawesi Utara, tidak memberikan tanggapan resmi kepada media setelah sidang, sumber internal menyebutkan bahwa penyidik merasa yakin dengan proses hukum yang telah dijalankan. Menurut informasi dari sumber yang tidak ingin disebutkan namanya, penyidik memiliki bukti kuat terkait dugaan aliran dana hibah yang tidak sesuai peruntukan dan adanya indikasi kuat keterlibatan AGK.
Pihak kepolisian juga menyatakan bahwa seluruh proses penetapan tersangka dan penahanan telah sesuai prosedur hukum dan dilakukan secara transparan dengan supervisi dari Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) dan Bareskrim Mabes Polri.

Konteks Sosial dan Keagamaan
Kasus ini menjadi perhatian luas karena menyangkut dana hibah kepada Sinode GMIM, sebuah lembaga keagamaan yang memiliki basis umat sangat besar di Sulawesi Utara. Beberapa aktivis dan tokoh masyarakat mempertanyakan apakah proses hukum ini akan menimbulkan efek domino terhadap hubungan antara negara dan lembaga keagamaan.
“Kasus ini perlu ditangani dengan cermat. Jangan sampai publik menganggap bahwa ada kriminalisasi terhadap lembaga agama atau tokoh gereja,” ujar Stefanus Mangindaan, aktivis sosial dan pemerhati hukum tata negara.
Di sisi lain, sebagian kalangan menilai bahwa proses penegakan hukum harus tetap berjalan meski menyangkut tokoh masyarakat atau pejabat. Menurut mereka, prinsip equality before the law harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

Agenda Sidang Selanjutnya
Hakim Ronald Massang memutuskan bahwa sidang praperadilan akan dilanjutkan pada Rabu, 11 Juni 2025. Sidang tersebut dijadwalkan akan mendengar kesimpulan dari kedua belah pihak sebelum hakim mengeluarkan putusan.
Putusan praperadilan ini dinantikan oleh banyak pihak karena akan menentukan apakah status tersangka dan penahanan terhadap AGK sah secara hukum atau tidak. Jika permohonan AGK dikabulkan, maka Polda Sulut wajib menghentikan penyidikan terhadap dirinya.
Namun bila permohonan ditolak, maka proses hukum terhadap AGK akan berlanjut ke tahap penuntutan.

Publik Menanti Putusan Keadilan
Kasus ini menjadi tolok ukur bagaimana peradilan Indonesia menangani perkara besar yang melibatkan unsur birokrasi dan keagamaan. Apakah proses hukum berjalan berdasarkan prinsip legalitas dan keadilan, atau ada intervensi dan tekanan politik yang tidak kasat mata?
Semua mata kini tertuju pada ruang sidang Pengadilan Negeri Manado. Putusan praperadilan AGK akan menjadi preseden penting bagi penegakan hukum di daerah dan akan mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap mekanisme kontrol kekuasaan di ranah pidana.
Publik berharap agar majelis hakim tetap independen, jernih dalam menilai bukti dan argumentasi, serta berpihak pada kebenaran hukum yang objektif.
“Apapun hasilnya, ini harus menjadi pelajaran bagi semua pihak—baik penyelenggara negara, aparat penegak hukum, maupun lembaga keagamaan,” pungkas Stefanus Mangindaan. “Karena hukum yang benar harus ditegakkan, dan hukum yang salah harus dibatalkan.”