Manado — Suasana damai menyelimuti kawasan pusat Kota Manado pada Minggu siang ketika Gubernur Sulawesi Utara, Yulius Selvanus, secara resmi menghadiri peresmian purna pugar Vihara Dhammādīpa. Acara yang berlangsung khidmat dan penuh kebersamaan ini menandai babak baru bagi rumah ibadah umat Buddha yang telah berdiri sejak 1969 itu. Dalam pidatonya, Gubernur menegaskan kembali identitas Kota Manado dan Provinsi Sulawesi Utara sebagai daerah yang sangat toleran, serta menjadi contoh hidup kerukunan umat beragama di Indonesia bahkan dunia.

“Manado bukan hanya kota seribu senyum, tapi juga kota seribu tangan terbuka. Di sini semua agama hidup berdampingan, bukan dalam diam, tapi dalam kasih,” ujar Gubernur Yulius Selvanus saat menyampaikan sambutan di hadapan para tokoh lintas agama, umat Buddha, dan masyarakat umum yang hadir di halaman Vihara.

Pernyataan tersebut sontak mendapat tepuk tangan panjang dari para hadirin. Banyak yang menilai kehadiran Gubernur bukan hanya sebagai tamu kehormatan, tetapi juga sebagai simbol komitmen pemerintah daerah dalam menjaga nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan saling menghormati di tengah kompleksitas masyarakat majemuk.

Sejarah Panjang Toleransi di Tengah Kota

Vihara Dhammādīpa yang kini kembali berdiri megah setelah proses pemugaran panjang, bukan sekadar tempat ibadah bagi umat Buddha. Bangunan ini telah menjadi saksi perjalanan toleransi di Kota Manado sejak pertama kali didirikan dengan nama Vihara Budhayana pada tahun 1969.

Menurut Ketua Panitia Purna Pugar Vihara Dhammādīpa, Virya D. Mongkaw, perubahan nama vihara menjadi “Dhammādīpa” yang berarti “Pulau Dhamma” pada tahun 1978 mencerminkan semangat umat Buddha Manado dalam menjadikan ajaran damai sebagai dasar hidup berdampingan.

“Pemugaran ini bukan hanya memperindah bangunan fisik, tapi juga memperkuat spiritualitas dan semangat toleransi. Kehadiran Pak Gubernur hari ini merupakan bukti nyata bahwa di Manado, harmoni bukan jargon politik, melainkan gaya hidup masyarakat,” tegas Virya dalam wawancara usai acara peresmian.

Bentuk Nyata Kerukunan Umat Beragama

Acara peresmian tersebut turut dihadiri oleh perwakilan lintas agama: tokoh Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, hingga Konghucu. Mereka duduk berdampingan, menyaksikan prosesi puja bakti dan pemberkatan yang dilakukan para biksu. Di tengah khidmatnya acara, terlihat pula masyarakat umum dari berbagai latar belakang ikut larut dalam suasana syukur dan doa bersama.

Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Utara, Pdt. Lexi Kaloh, menilai momentum ini sebagai bukti kuat bahwa kerukunan tidak hanya dikampanyekan dalam seminar, melainkan dipraktikkan langsung dalam kehidupan sosial warga.

“Kehadiran para pemuka agama yang berbeda keyakinan di sini bukan pemandangan baru. Ini wajah Manado yang sesungguhnya. Kami hidup bersama, bukan hanya karena toleransi, tetapi karena cinta terhadap sesama,” ungkapnya.

Komitmen Pemerintah Daerah

Dalam sambutannya, Gubernur Selvanus tidak hanya memberikan apresiasi atas rampungnya pemugaran vihara, tetapi juga menegaskan bahwa pemerintah provinsi akan terus memperkuat program-program lintas agama. Ia menyebut bahwa selama beberapa tahun terakhir, Sulawesi Utara telah menjadi daerah percontohan dalam indeks toleransi nasional, sebuah pencapaian yang perlu dijaga secara konsisten.

“Kita tidak boleh lengah. Dunia sedang menghadapi gelombang ekstremisme dan intoleransi. Tapi kita di Sulut punya modal sosial yang luar biasa. Ini harus terus kita rawat bersama,” tandasnya.

Gubernur juga menyampaikan bahwa Pemprov Sulut akan mendorong kurikulum pendidikan lokal agar memasukkan nilai-nilai lintas budaya dan agama dalam pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Ia menyebut pendidikan sebagai kunci utama membangun generasi penerus yang cinta damai.

Pesan Damai dari Seorang Bhikkhu

Bhikkhu Ananda Mahasila, salah satu pemuka agama Buddha yang memimpin prosesi puja bakti, menyampaikan pesan universal damai yang sangat menyentuh. Ia mengatakan bahwa toleransi bukan hanya diterapkan saat perayaan hari besar keagamaan, tapi dalam setiap interaksi sosial sehari-hari.

“Jika hati seseorang damai, maka dunia akan damai. Kita tidak perlu menunggu pemimpin besar untuk membawa perubahan. Cukup kita memulai dari dalam rumah, dari dalam hati,” ucap Bhikkhu Ananda dengan suara tenang di hadapan para undangan.

Warisan yang Harus Dijaga

Masyarakat Manado sendiri selama ini dikenal dengan keramahannya terhadap pendatang, turis, dan warga lintas etnis maupun agama. Setiap hari, rumah-rumah ibadah berdiri bersebelahan di kota ini tanpa pagar tinggi atau pengamanan berlebihan. Di hari raya besar, kebiasaan saling mengunjungi dan berbagi makanan antar tetangga yang berbeda agama masih menjadi tradisi hidup.

Tokoh masyarakat Tionghoa Manado, Hendra Liang, yang juga turut hadir dalam peresmian, menyebutkan bahwa toleransi di Manado bukan sesuatu yang dibangun dalam semalam, melainkan telah diwariskan lintas generasi sejak zaman Belanda.

“Kami tumbuh besar dengan tetangga Muslim dan Kristen. Di meja makan kami, semua agama pernah duduk. Toleransi bukan hal asing bagi kami. Itu sebabnya kami sangat bangga menjadi bagian dari Manado,” tuturnya.

Peran Generasi Muda dalam Merawat Toleransi

Generasi muda juga mendapat sorotan penting dalam acara ini. Sejumlah pelajar dari SMA Buddhis Bodhisatta dan mahasiswa lintas kampus turut tampil dalam pertunjukan budaya yang menampilkan tarian multi-etnis. Acara ini menjadi bukti bahwa toleransi tidak hanya menjadi tanggung jawab generasi tua, tetapi diwariskan kepada anak-anak muda sebagai bagian dari jati diri lokal.

Dalam sesi khusus bersama media, Gubernur Selvanus menyampaikan bahwa pihaknya sedang merancang program “Kampung Harmoni”, yakni kawasan-kawasan yang menjadi model penguatan budaya toleransi berbasis pemuda dan komunitas.

“Anak muda jangan hanya aktif di media sosial, tapi juga harus jadi motor perubahan sosial. Kita ingin tunjukkan bahwa Sulut bukan hanya aman, tapi juga nyaman bagi semua keyakinan,” kata Gubernur.

Refleksi dari Seorang Aktivis

Yuniar Pua, seorang aktivis perempuan lintas iman dari komunitas “Sahabat Toleransi”, memberikan catatan penting bahwa toleransi juga harus ditopang oleh keadilan sosial dan akses setara terhadap layanan publik.

“Tak cukup hanya rukun. Pemerintah harus memastikan bahwa semua kelompok agama mendapat perlakuan yang sama dalam pembangunan. Baik dalam hal izin rumah ibadah, anggaran kebudayaan, maupun pendidikan,” katanya.

Ia berharap agar momen peresmian vihara ini menjadi pemantik untuk memperkuat kebijakan-kebijakan inklusif yang tidak diskriminatif terhadap minoritas agama atau budaya.

Ekspansi Vihara sebagai Pusat Edukasi Damai

Pasca pemugaran, pengurus Vihara Dhammādīpa merencanakan untuk menjadikan vihara ini bukan hanya pusat ibadah, tetapi juga tempat belajar lintas budaya dan lintas iman. Program yang dirancang antara lain seminar damai, pelatihan meditasi terbuka untuk umum, serta diskusi lintas agama yang melibatkan kalangan pemuda.

Ketua Yayasan Dhammādīpa Manado, Romo Surya Dharma, menyatakan bahwa mereka tengah menjajaki kerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat untuk menggelar program-program pendidikan damai.

“Kami ingin vihara ini terbuka untuk siapa saja. Karena damai adalah milik semua,” katanya.

Simbol, Komitmen, dan Harapan

Peresmian purna pugar Vihara Dhammādīpa hari Minggu itu bukan sekadar seremoni biasa. Lebih dari itu, momen tersebut menjadi penegas identitas Kota Manado sebagai kota yang menempatkan toleransi dan kebersamaan di atas segala perbedaan. Kehadiran Gubernur Selvanus, para tokoh agama, pemuda lintas iman, dan masyarakat luas menjadi simbol komitmen bersama menjaga damai sebagai warisan dan arah masa depan.

Sulawesi Utara, dengan Manado sebagai ibukotanya, terus menegaskan diri sebagai benteng harmoni di tengah derasnya arus disintegrasi sosial di berbagai belahan dunia. Dan selagi bangunan-bangunan ibadah seperti Vihara Dhammādīpa terus berdiri kokoh sebagai tempat ibadah dan pusat peradaban damai, masyarakatnya pun diharapkan semakin kokoh dalam menjaga keberagaman sebagai kekayaan, bukan ancaman.

“Mari terus nyalakan pelita toleransi. Jangan biarkan satu api pun padam, karena ketika satu padam, maka gelap mulai menyelimuti,” pungkas Gubernur Selvanus menutup sambutannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *