Bitung, Sulawesi Utara — Suasana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Kota Bitung tampak berbeda dari yang biasa dibayangkan masyarakat luas. Di balik pagar tinggi dan pengawasan ketat, seorang warga binaan bernama Muhammad Dzulfan menunjukkan sisi lain kehidupan yang penuh warna dan harapan. Meski berada dalam keterbatasan, Dzulfan berhasil mengasah keterampilan seni lukis bakar (pyrography) dan menjadikannya sebagai medium untuk mengekspresikan jiwa sekaligus peluang masa depan.

Menggunakan peralatan sederhana seperti kayu dan solder listrik, Dzulfan menciptakan lukisan-lukisan menawan yang memadukan teknik pembakaran pada media kayu dengan cita rasa estetika tinggi. Setiap karya yang dihasilkan tak hanya memukau secara visual, tetapi juga menyimpan makna mendalam tentang perjalanan hidup, pengharapan, dan penebusan.

Kreativitas di Tengah Keterbatasan

Lapas Bitung telah lama menjalankan program pembinaan kemandirian bagi para warga binaan, sebagai bagian dari upaya reintegrasi sosial mereka kelak setelah menjalani masa hukuman. Dalam program ini, warga binaan dibekali berbagai keterampilan mulai dari pertukangan, pertanian, hingga seni rupa. Namun karya Dzulfan menjadi sorotan karena unik dan bernilai jual tinggi.

“Saya mulai mencoba menggambar di atas kayu dengan alat solder sekitar dua tahun lalu. Awalnya hanya iseng, tapi lama-lama saya suka dan terus belajar. Saya tidak menyangka, ternyata banyak yang tertarik dengan karya saya,” ungkap Dzulfan, sambil menunjukkan salah satu lukisannya yang menggambarkan wajah tokoh pahlawan nasional.

Karya seni lukis bakar hasil tangannya dijual dengan harga bervariasi, tergantung tingkat kesulitan dan ukuran. Harga lukisan berkisar antara Rp175.000 hingga Rp550.000 per buah. Bahkan beberapa karyanya pernah dipesan khusus oleh kolektor seni lokal maupun pengunjung yang datang dalam kegiatan pameran di lingkungan Lapas.

Lebih dari Sekadar Seni

Tidak hanya lukisan bakar, Dzulfan juga mengembangkan kreativitas dalam bentuk karya lain seperti gantungan kunci, asbak kayu, jam dinding hingga noken khas Papua. Semua dikerjakan dengan ketekunan dan dedikasi tinggi. Baginya, seni bukan hanya pelarian dari kejenuhan rutinitas di balik jeruji, tetapi juga cara untuk menyemai harapan dan membuktikan bahwa masa lalu tidak menentukan siapa dirinya kelak.

Program pembinaan ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk Kalapas Kelas IIB Bitung, Edi Kuhen. Ia menilai bahwa kreativitas warga binaan merupakan aset yang harus terus dikembangkan dan didukung.

“Hasil kreativitas dan kemandirian para warga binaan ini tidak hanya memberikan manfaat bagi mereka secara individu, tetapi juga membuka peluang untuk berkontribusi positif dalam masyarakat setelah mereka bebas nanti. Kami berkomitmen menyediakan ruang, pelatihan, dan bahkan fasilitas pemasaran agar karya mereka dikenal luas,” kata Kuhen.

Ia juga menambahkan bahwa program pembinaan ini bertujuan bukan hanya untuk mengisi waktu para warga binaan, tetapi sebagai bentuk nyata pemberdayaan yang berorientasi pada masa depan. Lewat keterampilan, mereka didorong untuk bangkit dan bertransformasi menjadi pribadi yang mandiri dan produktif.

Dukungan Lintas Sektor

Upaya Lapas Bitung dalam memfasilitasi kreativitas warga binaan mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga sosial, serta komunitas seni lokal. Beberapa pameran telah digelar untuk memperkenalkan hasil karya mereka kepada masyarakat umum.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bitung, Irwan Sondakh, menyatakan dukungannya terhadap program ini dan berharap kegiatan seperti ini bisa menjadi inspirasi bagi lapas-lapas lain di Sulawesi Utara.

“Apa yang dilakukan Lapas Bitung merupakan contoh konkret bagaimana pembinaan di lembaga pemasyarakatan bisa menjadi sarana rehabilitasi yang positif dan produktif. Ini bukan hanya soal seni, tapi tentang pemulihan martabat manusia,” ujar Irwan dalam sebuah pameran hasil karya warga binaan di Taman Kesatuan Bangsa Bitung.

Tantangan dan Harapan

Meskipun sudah banyak kemajuan yang dirasakan, Dzulfan mengakui masih ada tantangan yang dihadapi. Salah satunya adalah keterbatasan bahan dan alat yang bisa digunakan. Beberapa kali ia harus menunggu berhari-hari untuk mendapat pasokan kayu atau komponen elektronik yang dibutuhkan.

“Saya bersyukur dengan semua dukungan yang ada. Tapi kalau alat atau bahan tidak tersedia, saya tidak bisa berkarya. Harapan saya, ke depan ada lebih banyak perhatian untuk menunjang fasilitas warga binaan yang ingin berkarya,” kata Dzulfan.

Di tengah segala keterbatasan, Dzulfan tidak pernah berhenti bermimpi. Ia bahkan berharap suatu hari bisa memiliki galeri seni sendiri, tempat ia bisa memamerkan dan menjual karya-karya yang ia buat, sekaligus membimbing anak-anak muda di kampung halamannya agar menjauhi jalan hidup yang pernah ia tempuh.

Kisah Inspiratif di Balik Jeruji

Cerita Muhammad Dzulfan bukan hanya tentang seni lukis bakar. Ini adalah kisah tentang keberanian menghadapi masa lalu, ketekunan dalam proses pembelajaran, dan keyakinan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua.

Lapas Bitung, lewat program pembinaan seperti ini, menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan bukan sekadar tempat menjalani hukuman, melainkan wadah pembentukan karakter dan pemberdayaan. Dengan pendekatan yang tepat dan dukungan lintas sektor, lembaga pemasyarakatan bisa menjadi tempat lahirnya talenta baru yang siap kembali dan berkontribusi untuk masyarakat.

Kisah Dzulfan telah menginspirasi sesama warga binaan. Banyak di antara mereka yang kini turut terlibat dalam kegiatan serupa, belajar teknik pyrography, menciptakan souvenir, atau bahkan mulai menggambar sketsa desain produk sendiri.

Arah Baru Rehabilitasi Sosial

Model pembinaan yang diterapkan di Lapas Bitung sejalan dengan arah kebijakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI, yang menekankan pentingnya rehabilitasi sosial dalam proses pemasyarakatan. Dalam konteks ini, keterampilan yang diberikan kepada warga binaan bukan hanya berfungsi untuk kemandirian ekonomi, tetapi juga sebagai sarana membangun harga diri dan memperbaiki citra diri di hadapan keluarga dan masyarakat.

“Kami terus mendorong Lapas di seluruh Indonesia untuk berinovasi dalam pembinaan. Seni, kerajinan tangan, dan wirausaha menjadi bagian penting dari upaya ini. Kisah seperti yang dilakukan oleh Dzulfan di Bitung menunjukkan bahwa pemasyarakatan bisa menjadi jalan pulang, bukan sekadar tempat menunggu waktu,” ujar Dirjen Pemasyarakatan, Reynhard Silitonga dalam sebuah forum pembinaan nasional. Di balik dinding-dinding tebal Lapas Bitung, sebuah api kecil kreativitas telah menyala. Muhammad Dzulfan dengan lukisan-lukisan bakarnya telah membuktikan bahwa harapan bisa tumbuh dari tempat yang tak terduga. Karyanya tidak hanya memperindah sepotong kayu, tetapi juga membakar semangat bagi sesama warga binaan untuk terus berkarya dan percaya bahwa masa depan masih bisa diperjuangkan.

Dengan dukungan yang tepat, karya warga binaan seperti Dzulfan bukan hanya akan menjadi produk ekonomi, tetapi simbol kebangkitan, pembelajaran, dan perubahan. Bitung kini bukan hanya dikenal sebagai kota pelabuhan dan industri, tetapi juga tempat di mana kreativitas tumbuh, bahkan dari balik jeruji.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *