MANADO, – Sepekan setelah gema takbir Idul Fitri reda, suasana di Kelurahan Mahawu, Kecamatan Tuminting, Kota Manado, kembali semarak. Senin, 7 April 2025, rumah-rumah warga Muslim di kawasan ini tampak ramai dikunjungi tamu yang datang bersilaturahmi dalam rangka peringatan Hari Raya Ketupat, sebuah tradisi khas yang masih terjaga lestari sejak tahun 1970-an.

Hari Raya Ketupat bukanlah bagian dari rangkaian ibadah wajib dalam Islam, namun tradisi ini telah melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Muslim di sejumlah wilayah di Sulawesi Utara, termasuk di Kota Manado. Apa yang membuat tradisi ini begitu spesial dan terus dijaga hingga kini?

Tradisi Lintas Generasi yang Kaya Makna

Imam Masjid Darul Jannah Mahawu, Yusuf Suleman, mengungkapkan bahwa Hari Raya Ketupat telah menjadi bagian dari budaya lokal umat Muslim di Mahawu sejak puluhan tahun lalu. Perayaan ini digelar sepekan setelah Idul Fitri, menjadi pelengkap silaturahmi yang mungkin belum sempat terlaksana saat hari raya utama.

“Di perayaan Hari Raya Ketupat, warga akan saling berkunjung dan bersilaturahmi, terutama jika tak sempat berjumpa di Idul Fitri. Ini menjadi momen mempererat kebersamaan, bukan hanya sesama Muslim, tapi juga dengan warga yang berbeda keyakinan,” ujar Yusuf Suleman kepada Kompas TV Manado.

Tradisi ini bukan hanya perayaan internal umat Muslim. Banyak warga non-Muslim juga turut serta dalam suasana kebersamaan ini, menjadikan Hari Raya Ketupat sebagai simbol toleransi dan keharmonisan antarumat beragama di Sulawesi Utara.

Silaturahmi, Ketupat, dan Kebersamaan

Saat Hari Raya Ketupat, rumah-rumah warga Muslim di Mahawu terbuka lebar. Para tamu disambut dengan hangat dan disuguhi beragam hidangan khas, dengan nasi ketupat sebagai menu utama, ditemani opor ayam, rendang, sambal goreng, serta minuman segar khas Lebaran.

Warga Mahawu, Sri Nanda Lamadau, mengatakan bahwa tradisi ini sudah menjadi agenda tahunan yang sangat dinanti-nanti, tak hanya oleh warga lokal tapi juga oleh tamu dari luar daerah.

“Kalau Hari Raya Ketupat, biasanya jalanan jadi padat. Banyak tamu datang dari luar Mahawu untuk ikut merasakan suasana Lebaran yang sekali setahun ini. Kita sangat senang, karena ini mempererat hubungan dan mengenalkan budaya kita,” ujar Sri Nanda.

Kepadatan lalu lintas memang menjadi konsekuensi dari antusiasme masyarakat yang tinggi. Namun warga menilai, suasana meriah dan hangatnya kebersamaan jauh lebih berarti dibandingkan keramaian sesaat di jalanan.

Budaya yang Terus Dilestarikan

Hari Raya Ketupat di Mahawu bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah refleksi budaya lokal yang kaya nilai dan makna. Di tengah zaman yang serba cepat dan digital, warga tetap menjaga tradisi ini sebagai sarana menjalin silaturahmi, mempererat persaudaraan, dan memperkuat toleransi sosial.

Peringatan ini juga menunjukkan bahwa kebudayaan Islam di Manado memiliki karakter unik yang inklusif, mengakar dalam nilai-nilai kebersamaan yang tidak eksklusif untuk satu golongan saja.

Pemerintah setempat pun mendukung pelestarian tradisi ini sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal Sulawesi Utara. Beberapa tokoh masyarakat berharap Hari Raya Ketupat dapat masuk dalam agenda budaya tahunan yang lebih terorganisir, sekaligus menjadi daya tarik wisata religi-budaya di Kota Manado.

Hari Raya Ketupat di Mahawu adalah contoh hidup bagaimana tradisi, agama, dan budaya bisa berjalan beriringan menciptakan suasana damai dan hangat. Di tengah keberagaman Kota Manado, tradisi ini menjadi pengingat bahwa perbedaan bukan alasan untuk terpisah, tapi justru ruang untuk saling mendekatkan diri dalam semangat persaudaraan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *