Bolaangmongondow, Sulawesi Utara — Siapa sangka, daun nenas yang selama ini dianggap limbah, ternyata memiliki nilai ekonomi tinggi. Di tangan warga Desa Muntoi Timur, Kabupaten Bolaangmongondow, Sulawesi Utara, daun tajam dari buah tropis ini diolah menjadi benang dan ditenun menjadi kain eksklusif bernilai jual tinggi. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) penghasil kain tenun dari daun nenas tersebut kini menarik perhatian Ketua Tim Penggerak PKK Sulawesi Utara, Anik Waniandri Dondokambey.
Dalam kunjungan kerjanya ke Desa Muntoi Timur, Jumat (5/4/2025), Anik Waniandri meninjau langsung lokasi produksi kain tenun dari daun nenas yang dikelola oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Morobayat. Dengan penuh antusias, ia menyaksikan proses ekstraksi serat dari daun nenas, pemintalan benang, hingga proses penenunan menjadi kain bercorak khas Bolaangmongondow.
“Ini bukan hanya sebuah inovasi luar biasa dalam dunia UMKM, tapi juga bentuk nyata dari pelestarian lingkungan hidup. Daun nenas yang biasanya dibuang, kini bisa menjadi bahan dasar kain tenun yang punya potensi ekspor,” ujar Anik dalam pernyataannya kepada media.

Potensi Besar untuk Industri dan Ekspor
Anik menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melalui Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) akan memberikan dukungan penuh kepada UMKM ini, baik dalam bentuk pelatihan peningkatan kualitas produksi, bantuan alat, hingga akses pasar nasional dan internasional.
“Kalau ini diproduksi secara lebih halus dan massif, saya yakin kain tenun dari daun nenas ini bisa dipasarkan ke berbagai wilayah di Indonesia, bahkan diekspor ke luar negeri,” tambah istri Gubernur Sulut tersebut.
Menurutnya, kain dari daun nenas memiliki keunggulan dibanding kain dari serat biasa. Selain kuat dan memiliki tekstur unik, kain ini juga ramah lingkungan, biodegradable, dan menjadi alternatif bahan tekstil yang berkelanjutan.

Sumbangsih Nyata bagi Ekonomi Warga
Ketua LKS Morobayat, Martha Paputungan, menyampaikan bahwa usaha ini telah berjalan selama hampir dua tahun. Awalnya hanya beranggotakan lima ibu rumah tangga, kini telah berkembang menjadi 25 orang pengrajin aktif. Dalam sebulan, kelompok ini mampu memproduksi hingga 30 lembar kain dengan harga jual rata-rata Rp500.000 per lembar, tergantung corak dan ketebalan.
“Usaha ini telah membantu ekonomi warga di sini. Ibu-ibu bisa bekerja dari rumah, sembari tetap menjalankan aktivitas sebagai ibu rumah tangga,” jelas Martha.
Selain itu, produk mereka sudah mulai dilirik oleh pelaku industri fashion dari Jakarta dan Bali, bahkan pernah mendapat permintaan sampel dari Jepang dan Belanda.

Lingkungan Terjaga, Tradisi Terpelihara
Menurut Anik, selain aspek ekonomi, produksi kain dari daun nenas ini memiliki nilai ekologis tinggi. Pemanfaatan limbah pertanian seperti daun nenas membantu mengurangi tumpukan sampah organik yang bisa membusuk dan mencemari lingkungan.
“Kalau limbah ini tidak dikelola, ia hanya akan jadi beban lingkungan. Tapi dengan diolah menjadi serat, selain bersih, juga berdaya guna. Ini adalah contoh terbaik dari ekonomi sirkular di tingkat desa,” ujarnya.

Komitmen PKK dan Dekranasda
Ke depan, PKK dan Dekranasda Sulawesi Utara berkomitmen untuk menjadikan kain tenun dari daun nenas ini sebagai produk unggulan daerah. Langkah awalnya, kata Anik, adalah membantu UMKM di Muntoi Timur dalam hal branding produk, pelatihan desain motif khas daerah, hingga penyertaan dalam berbagai pameran kerajinan di tingkat nasional dan internasional.
“Kita akan kawal bersama. Ini bukan hanya tentang kain, ini tentang warisan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pelestarian lingkungan yang menyatu dalam satu produk,” tutup Anik Waniandri.
Catatan:
Inovasi kain dari daun nenas ini menambah daftar panjang potensi kerajinan Sulawesi Utara yang tak hanya indah secara visual, tapi juga penuh makna ekologis dan sosial. Sebuah kisah dari desa kecil di Bolaangmongondow yang pantas menginspirasi daerah lain di Indonesia.