Tingginya biaya pengolahan sawah dan fluktuasi hasil panen padi mendorong sebagian besar petani di Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara, untuk beralih ke budidaya nilam. Tanaman ini tak hanya mudah dalam perawatan, tetapi hasilnya juga menjanjikan, terlebih dengan permintaan minyak nilam yang terus meningkat di pasar internasional. Nilam kini menjadi primadona baru bagi para petani yang sebelumnya menggantungkan hidup pada pertanian padi.

Nilam: Peluang Emas dari Tanaman Aromatik

Minyak nilam (patchouli oil) memiliki nilai ekonomi tinggi karena dibutuhkan sebagai bahan utama dalam industri kosmetik, farmasi, dan aromaterapi. Salah satu fungsi penting minyak nilam adalah sebagai fixative agent—zat pengikat aroma dalam produk parfum. Permintaan global terhadap minyak nilam terus meningkat, mendorong harga komoditas ini melonjak dari waktu ke waktu.

Di Kotamobagu, para petani menyadari peluang ini dan mulai meninggalkan lahan persawahan yang membutuhkan biaya besar untuk pengolahan. Beralih ke budidaya nilam dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan dan keberlanjutan ekonomi keluarga.

Cerita Sukses Petani Nilam di Motoboi Besar

Latip Zakaria, seorang petani padi di Kelurahan Motoboi Besar, Kecamatan Kotamobagu Timur, adalah salah satu contoh sukses dari transisi ini. Awalnya, Latip mengolah sawah seluas satu hektare untuk menanam padi. Namun, mahalnya biaya pupuk dan pengolahan sawah yang membutuhkan tenaga kerja ekstra membuatnya berpikir ulang. Pada April lalu, ia memutuskan mencoba budidaya nilam dengan menanam 200 pucuk bibit nilam di lahan kecil.

Usahanya ternyata membuahkan hasil. Dalam panen awal, Latip berhasil menghasilkan enam kilogram minyak nilam, yang dihargai enam juta rupiah. Melihat potensi ini, ia kemudian memperluas areal tanam hingga seluruh sawahnya yang seluas satu hektare, menanam sekitar 13.000 pohon nilam.

“Budidaya nilam lebih mudah dibandingkan menanam padi. Selain pupuknya murah, perawatannya juga tidak banyak memakan tenaga. Hasilnya pun jauh lebih menguntungkan,” ujar Latip.

Transformasi Lahan Tidur Menjadi Lahan Produktif

Tingginya permintaan minyak nilam telah memotivasi masyarakat Kotamobagu untuk memanfaatkan setiap lahan kosong atau lahan tidur yang sebelumnya terbengkalai. Kini, hampir tidak ada lagi lahan yang dibiarkan kosong, karena semuanya dimanfaatkan untuk budidaya nilam. Bahkan, banyak petani yang mengubah sawah mereka menjadi kebun nilam.

Harga minyak nilam yang terus naik juga menjadi daya tarik utama. Dengan harga yang stabil di kisaran satu juta rupiah per kilogram, minyak nilam menjadi salah satu komoditas paling menguntungkan bagi petani lokal.

Kemudahan Budidaya dan Prospek Ekspor

Salah satu keunggulan budidaya nilam adalah proses perawatannya yang relatif mudah. Petani hanya membutuhkan bibit berkualitas, pupuk yang terjangkau, serta lahan dengan drainase baik. Dalam waktu 6–8 bulan, tanaman nilam sudah bisa dipanen untuk diolah menjadi minyak atsiri melalui proses penyulingan.

Tidak hanya itu, prospek ekspor minyak nilam juga terus meningkat. Permintaan dari negara-negara seperti Prancis, Amerika Serikat, dan Jepang, yang menjadi pasar utama minyak nilam, menjadikan komoditas ini semakin diminati.

Harapan untuk Masa Depan

Budidaya nilam kini menjadi solusi bagi petani Kotamobagu untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Pendapatan yang lebih stabil dan proses kerja yang lebih efisien membuat petani seperti Latip Zakaria semakin optimis menjalani masa depan sebagai petani nilam.

“Dengan harga yang terus naik, saya berharap lebih banyak petani beralih ke nilam. Selain meningkatkan ekonomi keluarga, ini juga membawa nama Kotamobagu sebagai salah satu penghasil minyak nilam terbaik di Indonesia,” tambah Latip.

Budidaya nilam telah mengubah wajah pertanian di Kota Kotamobagu. Dari lahan sawah yang penuh tantangan, kini daerah ini menjelma menjadi salah satu sentra penghasil minyak nilam yang menjanjikan. Tanaman ini bukan hanya membawa keuntungan ekonomi bagi petani, tetapi juga memberikan harapan baru bagi pengembangan sektor pertanian yang lebih berkelanjutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *